Laman

Andai Indonesia punya mindset tinggi akan populasinya


Saya tergelitik ketika banyak orang yang saya jumpai baik di angkutan umum, rekan kerja, perbincangan di instansi maupun percakapan antar tetangga yang mengeluh tentang begitu sesaknya kehidupan di kota-kota besar dan dari topic ini pula saya mencoba mengurai apakah permasalahan yang melanda sesaknya kota-kota besar di Indonesia?

Lalu sisi kritis saya mulai bertanya, bagaimanakah budaya kita dalam berkeluarga? Sebelum menjawabnya saya ingin membandingkan dengan Negara lain yang juga menjadi kota-kota besar di Negara tersebut. Misalkan populasi kota Amsterdam berjumlah  783.364 jiwa dalam luas kota 219km2 (tahun 2010) yang bila di total populasi keseluruhan Negara tersebut mencapai 16.570.613 jiwa dengan luas Negara 41,526km2 (tahun 2007)

Mereka memiliki budaya bebas, namun titik tolak berkeluarga mereka dihitung berdasarkan kualitas- misalkan apabila sepasang suami-istri ingin mempunyai anak, calon orang tua ini haruslah memiliki uang yang layak bagi calon anak yang akan mereka lahirkan (membayar pajak; sandang, pangan, papan bagi calon anak)

Negara Singapura yang hanya memiliki lahan seluas 710.2 km2 dan populasi penduduk mereka hanya 5.076.700 jiwa (sensus tahun 2010) saya yakin kalau orang Jakarta kencing bareng pasti tenggelam pulau Singapura---hehehehe. System berkeluarga mereka juga sangat mementingkan kualitas hidup bagi calon anak, semua yang terlarang di Negara ini mereka perbolehkan. Ambil contoh Judi (mereka punya Casino yang disebut integrated resort yang dibangun di Marina South dan di Pulau Sentosa pada tahun 2005 dengan bangunan mewah dan itu legal) minuman dengan kadar alkhohol tinggi, perkawinan beda agama, dll.

Populasi kota Tokyo berjumlah 13.010.279 jiwa (2010) dengan luas kota 218.708 km2 , dimana Jepang sendiri berpopulasi 127.530.000 jiwa di tahun 2009 dengan luas 377,944 km2. Negara yang perfeksionis dalam bekerja (mereka terapkan zero tolerance dalam produk-produk ciptaannya) Negara yang melegalkan prostitusi juga dalam bernegara, tetapi mereka menjungjung tinggi harga diri. Mereka mundur atau bunuh diri apabila tidak dapat menyelesaikan tugas dan tanggung jawab mereka sesuai janjinya.

Kini Indonesia dengan beragam budaya dan kekayaan buminya, tetapi masih memegang prinsip kuno yang akan tergilas dengan sendirinya. Total populasi di Jakarta saja sudah 8,699,600 (2005) jiwa dengan luas kota 664km2 , anugerah lokasi yang hebat ini tidak dimanfaatkan selayaknya. Kita tidak memiliki ruang hijau terbuka, lapangan olahraga gratis, jalur sepeda, jalur pejalan kaki (pedestrian), tempat parkir mobil/motor, dll.
Populasi ini sudah menyaingi populasi penduduk Belanda dan Tokyo. Negara kita memang mengharamkan judi tetapi kita praktekkan di dunia nyata…mau contoh ? baiklah, ambil napas dulu.

Pada saat usia anak perempuan menginjak 16 tahun sampai 25 tahun, budaya kita mengharuskan mereka berkeluarga (siap-tidak siap harus-apakah ada bedanya judi dengan uang di Negara lain dan anak di Indonesia?) dengan dalih yang sangat simple “kan, kami (orang tua sudah pensiun/nganggur) sudah saatnya menimang cucu” atau ada juga anggapan “kawin dahulu, nanti kalau tidak cocok tinggal cerai. Nanti apa anggapan orang kalau kamu (anak perempuan) tidak laku kawin” ada pula yang berkata “beranak cuculah biar rame dan ada penerus keluarga ini”.

Tiga pernyataan ini benar tetapi menanggapi topic yang sedang kita bahas ini, tentu sudah sangat kehilangan substansinya alias pandangan kuno. Kenapa saya bilang demikian, coba Anda bayangkan bagiamana bila tiap minggu ada 100 orang di daerah Jakarta saja menikah dan punya anak min 1??? Lahan mana lagi yang harus di ratakan dan dijadikan perumahan untuk tinggal mereka di Jakarta???

Seorang remaja yang sudah mau berkeluarga menjawab pertanyaan saya dengan santai, katanya : “kawin itu kan sudah keharusan dalam beragama, Tuhan yang kasih rejekinya nanti. Kita tinggal tunggu waktunya, buktinya orang tua saya bisa tuh membesarkan 5 anak dan sarjana semua” lalu saya bertanya lagi : “ apakah uang/rejeki bisa turun dari langit? Kalau kita kesusahan? ”(pertanyaan ini menjawab cikal bakal/ blue print koruptor) , terdiam sejenak dan “pasti ketemu aja rejekinya nanti, karena kalau nunggu-nunggu lagi keburu tua mas”, “kenapa sadarnya baru sekarang pas sudah berumur dan belum punya apa-apa (materi)” sahut saya.

Apakah kita orang beradab yang hidup dengan membiarkan calon anak-anak kita menderita hanya karena kita sebagai orang tuanya tidak dapat memberikan sarana dan prasarana yang layak bagi mereka kelak? Bukankah itu lebih berdosa dibandingkan orang yang tidak menikah ? mari kita teliti dengan pikiran yang terbuka. Kuantitas bisa maju tentu dengan kesejahteraan yang merata, tetapi sebelum kuantitas lebih tepat apabila kita focus ke kualitas kehidupan kita yang amburadul ini. Salah satu cara adalah mengendalikan populasi kita yang sangat produktif.

Ketika kita mendapatkan ilmu pengetahuan, sudah selayaknya kita telaah budaya yang merugikan bagi kehidupan kita. Konteks kehidupan tahun 60an, sudah tidak bisa kita terapkan lagi di kehidupan masa kini. Pasar bebas sudah terbuka, pemimpin kita tetap tidak tahu ingin berbuat apa untuk menyejahterakan rakyatnya. Siapa lagi kalau bukan kita yang merubah itu semua ??? biarkan mereka sibuk dengan politik busuknya, kalau kita bisa melakukan perubahan ini sedikit demi sedikit maka kita bisa merubah semua tatanan bernegara dan berbudaya bangsa yang beradab.

Pada saat saya menulis artikel ini bukan untuk menjatuhkan Negara kita, tetapi mari kita berbenah diri.
Kita songsong MDGS tahun 2015 dengan pikiran yang terbuka dan penuh misteri di negeri ini.
Topic selanjutnya akan berelasi kuat dengan topic ini, jadi tetap di blog saya y

Tidak ada komentar:

Posting Komentar